Saturday, November 01, 2008

Coklat Hias


Minggu lalu jam istirahat kantor, saya bela-belain pergi ke toko Titan di Jl. RS Fatmawati, jauh memang dr kantor saya, tapi karena pengen beli puff pastry merk Stella yg adanya cuman disitu ya sudah... saya tetap nekat kesana , naik busway sambung taksi.

Sampai disana setelah menemukan puff pastrynya, saya tergoda membeli coklat warna warni dan cetakannya yg lucu lucu. Kebayang Nadira & Nafisa akan senang bikin coklat hias sendiri.
Bener , sampai di rumah mereka minta langsung bikin, tp gak mungkin, secara klu dah pulang kantor saya dah tepar. Baru Sabtu pagi ini kita bikin. Nadira terutama, excited sekali, dia memang suka mengerjakan sesuatu yg detil- detil begini.


Dari hasil browsing dan baca buku pinjaman dari Shinta "kreasi coklat" by Peni Respati saya menemukan cara ngetim dan mencetaknya. Saya men-tim dengan metode dua panci.


Salah satu dari mold yg saya beli berbentuk lonceng, love dan burung. Ini sedikit mahal dari mold yg lain karena produk import. Dan dari bahan plastiknya lebih tebal dari keluaran lokal, hasil nya ini nih

Mold lain yg saya beli di Titan ada berbentuk Teddy Bear dengan balon. Mold ini lebih murah , hanya 9 rb rupiah, namun hasilnya cukup cantik.. Ada lagi mold lain yg saya beli berbentuk 'Pooh and friends" tp ga sempat ke foto , udah keduluan habiss..


Nah motif satu lagi hello kitty.. ini nemu ide dah sampe rumah ... pas ngeluarin perabotan masak ketemu cetakan puding anak anak ber bentuk hello kitty.. bisa niiih

Setelah rapi dan di bungkus satu persatu-persatu..Dira bilang gini " Mommy I wanna sell some to my friends.."... hahhh?...sampe sore aja Nadira bolak balik ke kulkas ngambil coklatnya, mana mungkin dia mau jual, hehehe..

Monday, September 08, 2008

Menu berbuka favorit anak-anak


Setelah seminggu puasa ada beberapa menu favorite Dira dan Fisa untuk berbuka.
Seneng banget klu anak-anak bilang " enak banget bu", " nikmat banget, bu", "besok bikin lagi ya bu".
Apalagi Fisa skrg lagi hobi membantu memasak. Dia udah bisa melipat American risoles sendiri.




Ini dia top 4 menu berbuka Dira & Fisa ... hehe klu ayah mah oke semua..


1.Sop Buah

Buah melon, strawberry, nanas, apel , anggur di potong potong kecil tambah sirup marjan yg coco pandan+ air tambah susu kental manis, masuk kulkas, diminum klu udah dingin... hmmm seger banget.

2.Puding Marmer Coklat




2 bungkus agar bubuk putih
200 gr gula pasir
1/2 sdt garam
800 ml susu cair
5 kuning telur , kocok
5 putih telur, kocok hingga kaku
100 gr dark cooking chocolate , tim hingga leleh

vla
susu + kuning+ maizena dimasak

  1. aduk rata agar-agar bubuk, gula pasir garam dan susu. Didihkan di atas api sambil terus diaduk
  2. Ambil sedikit adonan agar agar panas , tuang ke dalam kuning telur, aduk rata. Tuang kembali adonan kuning telur kedalam adonan agar tadi
  3. Tuang adonan agar agar ke dalam putih telur kocok, aduk rata. Sisihkan 250 ml agar untuk dimasukkan kedalam coklat leleh.
  4. Tuang setengah bagian adonan kedalam loyang yg telah dibasahi air. tuang setengah bagian adonan coklat. Bentuk pola marmer dengan bantuan garpu. Lakukan selapis lagi dengan sisa adonan , ratakan. Simpan di lemari pendingin.

3.American Risoles


Adonan kulit American Risoles:

100 gr tepung terigu
1 sdt garam
3 btr telur
300 ml susu cair
75 gr mentega, lelehkan
margarine untuk olesan

Cara membuat:
1. Ayak terigu, taruh dalam mangkuk bersama garam. Buat lubang ditengah, pecahkan telur di dalamnya, aduk satu arah.
2. Tambahkan susu sedikit demi sedikit, hingga adonan menjadi licin dan halus.
3. Tambahkan susu hingga habis, masukkan mentega leleh.
4. Tutup adonan dengan plastik, diamkan 30 menit.
5. Olesi wajan dadar diameter 12 cm dengan margarine, panaskan.
Tuangi 1 sendok adonan, ratakan sambil diputar, 2-3 menit, angkat.

Bahan isi :

150 ml Mayonaise
4 lbr Smoked beef, potong kecil 2 x 2 cm
100 gr keju cheddar parut
4 btr telur rebus, potong kecil
1 butir telur, kocok lepas.
250 gr tepung panir.
½ Kg minyak goreng


Cara membuat :
1. Bentangkan crepes, isi dengan potongan smoked beef, potangan telur rebus, sedikit keju parut, mayonaise, lipat spt amplop. Sisihkan
2. Lakukan hingga crepes habis.
3. Celupkan crepes isi kedalam telur kocok, gulingkan dalam tepung panir.
4. Masukkan kedalam lemari pendingin kira-kira 1 jam.
5. Goreng hingga kuning.

4.Strawberry Milk Shake

Strawberry + susu strawberry + Ice Cream Strawberry di blender...luar bisa untuk pelepas dahaga.


Saturday, August 16, 2008

Ibu

lyric by Iwan fals

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah

Seperti udara… kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…ibu…ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas…ibu…ibu….

Seperti udara… kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…ibu…ibu


* doaku, rinduku selalu untuk Mama ku tercinta *

Wednesday, July 30, 2008

for the second time


have you ever fall in love for the second time

to the one that you are in love for first time?
have you ever said its a perfection after you
bonding for long time journey?

now I'm in..
thanks God You give it to me..
there no reason to deny Your blessings..

Thursday, June 05, 2008

Hemat itu Gaya






Ibu sangat terkesan dengan artikel yang dimuat di kompas (24 Mei 2008) di lembar Klasika. Pada saat BBM naik, ibu-ibu rumah tangga menjerit Harga harga merayap naik, melampaui besar kenaikan gaji di kantor.
Sudah saatnya merubah pola pikir tentang pengeluaran & gaya hidup Artikel ini cukup bisa mengarahkan bagaimana pola pikir itu seharusnya.







Simak tulisan Eileen Rachman & Sylvina Savitri ini.

HEMAT ITU GAYA

Dapatkan satu set dapur ‘branded’, ditambah satu jaket kulit eksklusif, bila Anda membeli apartemen sebelum akhir bulan ini”, “Bagi putra-putri Anda, mainan kecil selama penerbangan”. Serbuan promosi ini, kesemuanya ditanggapi oleh kita-kita, baik yang kaya maupun miskin, yang perlu ataupun tidak memerlukan, dengan ungkapan:”Kenapa tidak?”. Apakah sesudah itu jaket maupun mainan dibuang ke tong sampah karena tidak cukup “berharga” untuk disimpan, itu urusan lain. Yang penting, kita “mendapatkan”-nya.



Tanpa sadar perilaku konsumsi kita sudah berjalan tanpa pikir panjang lagi. Kita tidak terlalu mem
pedulikan lagi, apakah kita menjalankan “over consumption” yang diikuti perilaku membuang sampah, sesaat menggunakan produk kemudian mengganti lagi dengan produk lain atau mengikuti tren produk selanjutnya. Gejala “overconsumption” ini sudah menggejala di setiap lapisan masyarakat secara menyedihkan. Tengok betapa seorang yang berpenghasilan di bawah satu juta rupiah membelanjakan uangnya untuk membeli pulsa ponsel. Seberapa pentingnyakah komunikasi instan ini bagi dirinya?

Seiring dengan ajakan banyak pihak termasuk pemerintah untuk mengencangkan ikat pinggang, semakin gencar pula para produsen bersaing melalui upaya pemasaran yang gila-gilaan. “Lima puluh persen diskon untuk makan di restoran ternama, selama 3 bulan ini” Alhasil, makanan restoran yang dulunya kita nikmati sedikit-sedikit dan perlahan-lahan sekarang kita konsumsi lebih banyak, bahkan kadang sampai terbuang percuma. Meskipun beberapa orang tua masih kerap menasihati putra-putrinya untuk “Ingat pada yang tidak punya makanan”, namun konsumsi makanan (baca: berlebihan) tetap berjalan terus.

Kita jadi sadar bahwa kita berada ditengah ambivalensi perasaan dan evaluasi mengenai realitas sosial dan konsumsi kita sendiri. Keadaan yang kita sadari ini pun ingin kita ubah, namun tenaga serasa tidak cukup untuk berubah dan mengubah gaya hidup seketika. Tanpa terasa badai konsumsi sudah begitu kuat mewarnai hidup kita dan sudah kita anggap sebagai kebutuhan pokok. Keluarga menengah yang tinggal, misalnya di bilangan Bekasi, sering kita lihat mengupayakan untuk punya mobil dua. “Saya bekerja di Tangerang dan istri berkantor di daerah Sudirman. Kami tidak punya pilihan. Kalau tidak menggunakan 2 mobil, kami tidak punya waktu untuk keluarga.” Kenyataan seperti ini seolah berbunyi “no way out”, yang kemudian bisa membuahkan sikap apatis, tidak berdaya, tanpa ancang-ancang langkah mundur bila, misalnya, harga BBM melonjak dan tidak terbayarkan lagi.

Cerminan diri

Semenjak tahun 80-an, keberadaan mal-mal indah, sejuk dan nyaman seakan menjadikan kegiatan “shopping” sebagai ritual yang sah, bahkan dijadikan sarana untuk mengumandangkan “Siapa saya” alias identitas diri. “Apa yang kita beli dan konsumsi, adalah cerminan dari diri kita”. Tanpa sadar kita sudah berada pada situasi di mana konsumsi tidak ada hubungannya dengan “biaya” dan kebutuhan. Konsumsi adalah “impulse”, yaitu reaksi impulsif yang secara sengaja dipelajari dan didalami oleh kaum “marketers” yang berusaha untuk menyasar para konsumen agar lebih mengkonsumsi dan mengkonsumsi lagi. Operator telpon, penjual minuman, bahkan rokok sangat menyadari bahwa konsumen yang paling empuk adalah remaja. Dan, karenanya remaja di ninabobokan dengan konsumsi yang mudah, ringan tetapi adiktif, menjebak, dan sulit bisa lepas lagi. Pertanyaannya, mungkinkah kita kembali ke era di mana kita melakukan “reasonable & reflective consumption”, dan dengannya berpikir keras mengenai kuantitas dan kualitas barang yang kita konsumsi?

Antara “Punya” dan “Berbagi”

Saya teringat kebiasaan ayah saya di tahun 60-an, yang setiap pagi hari pukul 6 berangkat dari rumah di Cilandak dan mengangkut beberapa anak sekolah langganan sepanjang Jl Fatmawati, yang sudah seolah ber-“gentleman agreement” untuk berangkat bersama. “Daripada kosong”, begitu komentar ayah saya, yang dengan bangga mengendarai Austin Thames-nya, mobil pribadi pertama yang dimilikinya. Memiliki mobil, pada jaman itu merupakan prestasi yang sangat dibanggakan, tetapi kemudian, berbagi fungsi dan kemudahan membuat hidup lebih bermakna lagi. Mengapa di jaman sekarang, kita tidak kunjung bisa menanggulangi jalan macet dengan berbagi? Bahkan, kita menghalalkan pelanggaran dengan memanfaatkan para “joki” demi “privacy” alias “selfishness” . Gaya hidup “berbagi” memang tidak terlalu populer di kalangan ‘gaul’ , dibandingkan dengan isu “mempunyai”. Di sinilah budaya “selfishness” tumbuh subur tanpa sadar bahwa dengan memanfaatkan dan menikmati kebersamaan dan hubungan sosial, kita bisa lebih sejahtera. .

Berhemat itu canggih

Isu “matre” atau sikap materialistis nampaknya sudah kuno, basi, tidak signifikan lagi, karena kita memang sudah terbiasa, bahkan terbelenggu menjadi ‘konsumen setia’. Kemudahan dan keuntungan sebagai pemegang kartu kredit dan kartu debet dan segala macam kemudahan berutang menjadikan kita tidak kuasa lagi untuk setiap kali, berhenti sejenak, berpikir dan mempertimbangkan tentang pengeluaran uang, ongkos, serta kegunaan dari barang, produk maupun jasa yang kita konsumsi. Nampaknya untuk berhemat, semua dari kita perlu “start from scratch” dan berpikir sangat keras, merekayasa dan mendesain suatu pendekatan yang lebih manusiawi ketimbang komersialisasi, lokal ketimbang global, dan membuat sendiri ketimbang membeli, demi menyelamatkan kesejahteraan fisiologis, psikologis, emosional dan spiritual.


(Ditayangkan di KOMPAS, 24 Mei 2008)